Jumat, 06 Agustus 2010

SEBUAH ANALISA KASUS DALAM MATA KULIAH ”INTELEGENSI DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN” (Yayuk Hapsari)

KASUS :
Ketika Kepala Sekolah di sebuah Sekolah Menengah sedang membacakan nama-nama siswa yang tergolong pintar dalam yudisium sekolahnya, seorang siswa tiba-tiba bertanya: “ Ibu, siapa yang lebih pintar? Einstein atau Christian Ronaldo? Taufik Hidayat atau BJ. Habibie?
Ibu Kepala Sekolah tidak saja kaget, tetapi juga marah. Dengan suara tegas dan berapi-api, ia berkata : “ Mana mungkin Christian Ronaldo yang kerjanya bermain bola dibandingkan dengan Einstein yang menemukan hukum relativitas. Apalagi membandingkan B.J. Habibie dengan Taufik Hidayat!”
Siswa penanya yang kebetulan pemain sepak bola terkenal yang mengharumkan nama sekolahnya… tidak hanya kecewa dengan jawaban itu, tetapi juga merasa sia-sia dengan keterampilannya. Dia tidak pernah dianggap cerdas dan pantas memperoleh penghargaan kecerdasan dari sekolah. Dia mengalami kekecewaan serupa sebagaimana yang dialami seorang pemain gitar terkenal dari sekolahnya.
Kasus nyata di beberapa sekolah membuka mata banyak orang tentang kecerdasan. Apakah yang cerdas hanyalah mereka yang pintar matematika dan bahasa; yang IQ mereka di atas 120? Fakta lain membuktikan bahwa sebagian besar siswa yang nilai raportnya bagus banyak yang kemudian menganggur. Sementara yang pintar main musik dan piawai berolahraga diterima di beberapa bank sebagai karyawan tetap. Lebih hebat lagi, mereka jauh lebih sukses dibandingkan teman-temannya yang pintar matematika dan bahasa itu.
Kasus lain terjadi di fakultas Kedokteran. Diantara dokter yang lulus tepat waktu dengan indek prestasi komulatif (IPK) di atas 3,5 merupakan dokter-dokter yang gagal, baik sebagai kepala Puskesmas maupun dokter praktek swasta. Ketika menjadi kepala puskesmas, mereka menjadi pemimpin yang gagal. Ketika membuka praktik, mereka kekurangan pasien. Sementara kawan-kawan mereka yang hampir drop out karena terlalu lama sekolah, juga dengan IPK biasa, justru menjadi dokter-dokter yang berhasil ketika bekerja di lingkungan masyarakat. Diantaranya bahkan menjadi dokter teladan.
Bagi orang awam, kasus tersebut di atas merupakan hal biasa. Tetapi buat kita yang merupakan para cendikiawan pendidikan menjadi luar biasa. Karena kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh nilai raport atau IPK seseorang.
Berpijak pada paparan di atas, penulis sangat setuju kali jika kecerdasan seseorang itu tidak diestimasi melalui sudut pandang intelektual saja melainkan beberapa aspek lain seperti EQ dan SQ yang sangat terkait seperti budi pekerti yang luhur , kepedulian pada sesama yang ditunjukkan melalui perasaan simpati dan empati menjadi bagian penting dalam hidup dan kehidupan seseorang.
Dari kasus di atas, jelas terlihat bahwa seseorang yang cerdas secara intelektual, lulus dengan predikat “ Dengan Pujian” daan meraih IPK tertinggi, belum menjamin mereka akan berhasil dalam karya, karir, dan kesuksesan hidup. Hal ini disebabkan oleh watak mereka yang selalu ingin ‘lebih’ dibanding dengan yang lain. Mereka tidak mau mendengar perkataan orang lain karena sikap egois jauh lebih mendominasi diri mereka dari pada mendengar perkataan orang lain.
Arif Rahman hakim, seorang praktisi pendidikan mengatakan bahwa orang cerdas itu, adalah orang yang suka mendengar perkataan orang lain dengan bijak, hingga kemudian ketika giliran berbicara tiba, mereka akan menanggapi setiap perkataan lawan bicaranya secara logis dan tidak bertele-tele. Dengan kata lain, by listening we can learn a lot. (dengan mendengar, kita bisa belajar banyak hal). Belajar bagaimana menghargai orang yang sedang berbicara, belajar bagaimana meredam emosi yang berlebihan ketika orang lain mengemukakan argumentasinya, dan belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang selayaknya mendengar keluh kesah rakyatnya yang sedang dirundung masalah. Bukan menjadi raja, yang perkataannya selalu ingin didengar dan ditaati rakyatnya.
Untuk hal tersebut, seorang Lex Mckee juga menambah satu diantara rangkaian kecerdasan yang sudah umum di telinga kalangan masyarakat. Kecerdasan itu adalah LQ atau Listening Quotient. LQ merupakan kecerdasan yang jarang sekali dimiliki banyak orang apalagi di era millenium ini, di mana perasaan simpati dan empati kepada orang lain minim sekali. Perasaan tepo seliro sudah tidak membudaya dikalangan masyarakat. Hubungan silaturahim seperti bertandang atau bertamu dari rumah ke rumah telah tergantikan oleh sms, twitter, flixter dan facebook dan tele conference. Hal-hal di atas itulah yang merupakan imbas dari kemajuan ilmu dan teknologi yang berpengaruh dominan terhadap cara berpikir masyarakat kelas atas maupun kelas bawah. Bias teknologi yang begitu dahsyat ternyata juga menghambat kreatifitas masyarakat pemerhati pendidikan khususnya kalangan pelajar. Konsentrasi mereka menjadi berkurang dibarengi tingkat kepekaan sosial yang semakin menipis. Nilai luhur bangsa (Indigenous value) yang begitu di junjung tinggi oleh rakyat terdahulu, telah hilang seiring dengan kemajuan IPTEK yang begitu drastis.
Beberapa gambaran peserta didik masa kini adalah acuh tak acuh ketika berpapasan dengan gurunya. Tidak ada lagi jabat tangan hangat kepada orang yang lebih tua, senyum, salam dan sapa kepada sang guru ketika bertemu guru di beberapa tempat umum yang sering dikunjungi orang. Yang ada hanyalah, siswa mengalihkan pandangannya ketika bertemu guru seperti orang yang tidak pernah kenal sebelumnya. Biasanya siswa yang melakukan tindakan tersebut di atas adalah siswa yang cerdas secara intelektual dan berasal dari keluarga menengah ke atas. Sementara siswa yang berasal dari keluarga sederhana dan kecerdasannya di bawah rata-rata atau dengan kata lain standar, biasanya lebih peka dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya termasuk gurunya.
Pembaca yang budiman, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dunia pendidikan di Indonesia maupun dunia hanya memerlukan orang-orang yang cerdas secara intelektual (IQ tinggi)? Apakah tidak ada penghargaan bagi anak yang cerdas secara emosional (EQ) yang selalu bermanfaat bagi orang lain? Apakah tantangan dunia hanya terbatas pada kompetisi intelektual? Apakah kecerdasan hanya dinilai dari kemampuan otak bukannya hati?
Pembaca yang budiman, Eileen Rachman, seorang psikolog yang juga Direktur Experd, konsultan sumber daya manusia pada acara seminar di Jakarta bertajuk 10 cara mempertajam IQ dan EQ anak, mengatakan bahwa IQ hanya digunakan antara lain membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara runtut dan mencari hubungan antara satu bentuk dan bentuk lainnya. Tetapi IQ tidak mengukur kreativitas, kemampuan sosial dan kearifan.
Jelasnya, tidak tampak sedikitpun hubungan timbal balik antara manuasia yang satu dengan manusia yang lain sebagai makhluk sosial, yang ditunjukkan oleh orang yang ber IQ tinggi. Sementara orang yang ber IQ standar atau bahkan di bawah rata-rata lebih sensitif peduli dengan keadaan dan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Kepedulian sosial yang tinggi mampu membawa anak meraih kesuksesan yang diinginkan. Karena jiwa sosial mereka yang tinggi, keberadaan mereka sangat dibutuhkan di masyarakat. Masyarakat pun tidak sungkan untuk membalas kepedulian anak-anak yang berjiwa sosial tadi dengan kebaikan yang banyak. Makanya bukan mustahil, anak-anak yang berhasil saat ini adalah anak-anak yang cerdas batinnya karena selalu bermanfaat bagi masyarakat. Jiwa anak yang senantiasa terkontrol secara emosi dan spritualnya membawa mereka pada kenyataan yang tertuang perkataan dahsyat Rasulullah SAW dalam sebuah hadist berbunyi, “Maala yarham, laa yurham,” artinya barang siapa tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Demikian pula sebaliknya. Spritual anak begitu terasah karena pengaruh orang tua dan lingkungan di mana dia berada. Tapi, bukan tidak mungkin, sang anak berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya karena dia sudah mulai membuka diri, menerima segala bentuk hidayah dan kebenaran sesuai dengan agama yang diyakininya.
Dalam Al Qur’anul Karim, QS. Asy-Syams: 8, dijelaskan bahwa
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
k etakwaannya.
Begitu jelasnya Surat cinta Allah, yang menerangkan kepada hambanya bahwa ada 2 acuan untuk memilih jalan mana yang akan diambil dalam menempuh kehidupan yang bermakna. Bermakna yang tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, tetapi juga orang lain yang senantiasa bersentuhan dengan kita. Dua jalan yang menggambarkan realitas kehidupan manusia kebenaran dan kebathilan. Dua jalan yang akan menggiring manusia untuk cerdas secara akhlak atau cerdas tapi tidak berakhlaq. Pilihan atas jalan kebenaran atau ketaqwaan menjadi skala prioritas yang harus ditempuh jika ingin menghasilkan generasi penerus yang berguna di dunia dan akhirat.
Pembaca yang budiman, seyogyanya, orang-orang yang berkepentingan di dunia pendidikan, sekaligus peduli dengan peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh, diharapkan memiliki perspektif lurus bahwa pendidikan tidak hanya diukur oleh nilai akademis semata yang terlihat melalui IQ sang anak saja, melainkan ada banyak kecerdasan lain yang dimiliki anak dan mampu membawa dia kepada kesuksesan yang sebenarnya. (the truly success)
Hendaknya tiga ranah pendidikan yang dikemukakan dalam Taxonomy Bloom benar-benar diterapkan secara konsisten dan komitmen demi menghasilkan lulusan-lulusan yang cerdas dan berakhlaq mulia. Karena, pada kenyataannya, satu diantara tiga ranah tersebut yakni afektif, hanya digunakan saat menilai siswa selama proses pembelajaran dan kenaikan kelas. Sementara pada saat kelulusan, dalam ijazah mereka hanya tercantum nilai-nilai sebatas kognitif dan psikomotorik.
Lantas, bagaimana dengan perilaku baik dan buruk siswa yang terekam dalam ranah afektif? Jawabannya tidak berpengaruh sama sekali. Menurut hemat penulis, afektif ibarat pelengkap dan penderita yang tidak memiliki makna khusus dalam hati sang pemegang kebijakan. Tapi penulis yakin, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, seluruh pendidik di dunia ini, termasuk penulis yang juga berprofesi sebagai guru, sangat menginginkan bahwa kriteria kelulusan siswa tidak hanya diukur melalui aspek kognitif dan psikomotorik, dengan kata lain, LULUS hanya bagi mereka yang mampu menempuh Ujian Nasional dengan nilai yang tinggi, tapi juga mereka yang mampu menempuh ujian kebaikan dan kesabaran dalam berperilaku namun tak pandai dari sisi akademisnya (kognitif dan psikomotorik).
Penulis, mewakili guru di seluruh Indonesia menginginkan keadilan dan penghargaan pada siswa yang berakhlaq mulia namun tak memiliki bakat khusus yang berhubungan dengan IQ. Mereka layak diperhitungkan karena keberadaan mereka akan mengisi kekosongan ruh yang haus akan nilai-nilai kebaikan, kepedulian, simpati dan empati pada sesama. Bayangkan, apa yang akan terjadi pada sebuah keluarga, jika hanya dihuni oleh anak-anak dan orang tua yang hanya memilki IQ tinggi tapi tak berakhlaq? Apakah keluarga mereka akan berjalan harmonis? Atau dalam skala yang lebih besar, apa yang akan terjadi pada suatu negara jika hanya dihuni oleh orang-orang yang cerdas secara IQ dan tidak pernah mengerti bagaimana mengelola IQ dan ESQ? Tentunya, negara itu akan memilki masalah besar, karena setiap diri menganggap bahwa mereka lebih pintar dari yang lain sehingga tidak ada yang mau dinasehati. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu dianggap benar walaupun tidak sesuai dengan syari’at agama.
Pembaca yang budiman, apa yang terjadi di negara kita tercinta Indonesia, adalah bukti bahwa banyak orang cerdas yang dihasilkan oleh bangsa kita tercinta, ini. Para pejabat yang sudah terseleksi melalui fit and proper test di lingkungan kerjanya masing-masing, ternyata hanya diukur dari sisi IQnya saja. Hal ini terbukti bahwa banyaknya tindakan kriminal dan amoral termasuk korupsi yang tidak pernah terselesaikan, dan dilakukan oleh para oknum penting tersebut, sehingg dianggap biasa oleh khalayak ramai, karena terlalu banyak urusan yang dikerjakan oleh oknum tersebut sehingga menyita waktu dan energi serta alasan-alasan klise lain yang tidak seharusnya diutarakan.
Bahkan ada pula yang menjawab dengan pelan dan datar bahwa, “Setiap manusia pasti tidak pernah luput dari salah dan khilaf, untuk itu mohon dimaafkan.” Manusiawi memang, tapi kesalahan yang mengada-ada timbul karena ada niat dari sang pelaku, bukan karena unsur ketidaksengajaan. Ini adalah polemik yang tidak berkesudahan, sudah saatnya pemimpin, sang pemegang kebijakan, mengupayakan win win solution, mulai membenahi ketidakrapian dan ketidakjelasan sebuah pemerintahan. Sudah saatnya pemerintah mulai menghargai anak bangsa yang berbudi pekerti yang luhur untuk menduduki posisi penting dan strategis di pemerintahan hingga mengurangi atau mengikis habis tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh orang-orang ber IQ tinggi tetapi tidak memiliki EQ dan SQ.. Keberadaan mereka yang memiliki EQ dan SQ akan membawa perubahan besar dalam suatu negara. Perubahan menuju negara maju, dan selalu berkomitmen tinggi dan konsisten menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan jujur. Dan itu harus dimulai sejak sekarang.
Untuk itu, pembaca yang budiman, mohon diklarifikasi rahasia umum bahwa pendidikan dewasa ini, hanya menilai kematangan dan kecakapan siswa dari sudut kognitif dan psikomotorik saja. Sementara siswa yang berakhlaq baik tapi tidak memiliki kematangan dalam hal IQ tidak berhak menyandang predikat LULUS. Pendidikan di Indonesia harus berubah dan mengadakan perubahan besar secara dinamis dan berkesinambungan.
Perubahan itu akan menjadi dasar perilaku hidup bangsa Indonesia ke depan. Perubahan itu ditandai dengan manajemen pendidikan yang memiliki kurikulum terpadu dan lebih mengutamakan pendidikan moral di atas segalanya. Jika sejak dini, anak dididik untuk cerdas secara EQ dan SQ maka kecerdasan lain akan melengkapi pribadi anak dengan sendirinya. Bantuan orang tua khususnya pendidik menjadi pemicu utama lahirnya peserta didik yang cerdas secara akhlaq dan akademisnya.
Sejalan dengan paparan di atas, dr. Andre Meaza mengatakan bahwa masa usia dini merupakan periode emas untuk melakukan proses stimulasi aktif melalui proses penginderaan dengan tujuan membentuk wiring system. Tahapan awal kehidupan anak merupakan tahapan penting karena anak sudah mampu menerima keterampilan dan pengajaran sebagai dasar pengetahuan dan proses berpikir. Pada tahap itulah perlunya menanamkan nilai EQ dan SQ agar anak dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga orang banyak.
Kecerdasan IQ yang sering dibangga-banggakan orang tua melalui nilai raport anak yang tinggi, ranking pertama, ijazah tertinggi baik di kota maupun provinsi tidak menjadi tolak ukur, bahwa anak itu akan berhasil dalam meniti karir dan masa depannya. Sementara ketakutan orang tua karena memiliki anak yang hanya bisa bermain bola dan gitar serta tidak paham sama sekali dengan semua pelajaran di sekolah, harus bisa diminimalisir karena setiap anak pastinya memiliki kecerdasan beragam yang kelak bermanfaat bagi diri dan kehidupannya kelak.
Paradigma orang tua dan pendidik dalam dunia pendidikan hendaknya di ubah bahwa anak yang pintar dan berhasil itu tidak hanya dilihat melalui tingginya nilai Matematika, IPA dan Bahasa Inggris yang terekam melalui raport dan ijazahnya.Tanamkan paradigma berpikir maju bahwa IQ hanya mengukur sebagian kecil dari kecakapan. Timbulkan keyakinan bahwa anak yang cerdas itu justru yang bisa bereaksi secara logis dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya.
Sebagai pendidik, mari motivasi diri kita untuk menjelaskan kepada anak didik kita, tumpuan harapan bangsa, tentang kecerdasan atau intelegensi jamak yang pastinya dimiliki oleh pribadi-pribadi tertentu. Katakan kepada mereka bahwa banyak jalan menuju Roma, begitu juga jalan menuju kecerdasan. Ada banyak sekali cara untuk menjadi cerdas. Kalau ada banyak cara, berarti ada banyak tanda pula untuk melihat kecerdasan anak. Tanda itu bukan hanya dapat dilihat melalui prestasi akademisnya atau sertifikat hasil tes intelejensia.
Tumbuhkan kesadaran dan pemahaman bahwa setiap anak terlahir cerdas dan berbakat. (Thomas Armstrong, P.Hd) Kalaupun ada yang tampak tak menonjol, itu karena beberapa anak menunjukkan bakatnya lebih lambat dibandingkan anak yang lain. Sebagai orang tua yang bijak, kesabaran menjadi dayak tarik tersendiri bagi anak yang sangat ingin membahagiakan orang tuanya melalui apa yang bisa dia raih dan capai, bukan hanya berbentuk prestasi akademis, tapi perilaku peduli dan menyayangi orang tuanya, membantu menyelesaikan pekerjaan ibu dan ayah di rumah adalah sebuah kecerdasan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, kecerdasan rohani, impian semua orang.
Untuk itu orang tua bijak hendaknya memberikan banyak pengalaman berharga dan stimulasi kepada anak. Stimulasi dan sensasi pengalaman yang intens itu berguna untuk segera membangkitkan kecerdasan sang anak. Untuk mencapai semua itu, starting point yang harus dilakukan adalah mulai dari keluarga terkecil yakni rumah tangga. Konsep awal ini bila dipahami dengan baik, akan membuat semua orang tua memandang semua potensi anak lebih positif. Terlebih lagi, jika orang tua dan guru dapat menyiapkan sebuah lingkungan yang menyenangkan dan memberdayakan. Sekolah dan rumah seyogyanya menjadi tempat indah dan nyaman bagi mereka untuk menggali potensi diri.
Konsep Multiple Intellegences perlu di komunikasikan pada anak agar timbul rasa percaya diri mereka dalam belajar dan beraktifitas. Ajarkan kepada anak bahwa mereka bisa belajar apapun yang ingin mereka ketahui. Apa yang ingin diketahuinya itu, dapat ditemui dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami sendiri. Sementara bagi orang tua maupun guru, yang dibutuhkan hanyalah doa, kesabaran, kreatifitas dan kepekaan untuk mengasah kemampuan anak. Orang tua hendaknya berpikir secara terbuka dan mau menerima kukarangan dan kelebihan yang dimiliki oleh sang anak. Keluarlah dari paradigma tradisional yang mengatakan bahwa keberhasilan anak hanya bisa dinilai dari nilai Matematika, IPA dan Bahasa saja. Khargai setiap bakat dan potensi dalam diri anak untuk menggapai masa depan mereka, masa depan penerus roda pemerintahan Indonesia, dan yang pasti, masa depan agama, nusa dan bangsa. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar