Jumat, 06 Agustus 2010

TEKNOLOGI INFORMASI MEMBANTU GURU DALAM MENJAWAB TANTANGAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI (Yayuk Hapsari, 24 Juni 2006)

Tahun 1993, Ketika pertama mengenal alat yang bernama komputer, booming Teknologi Informasi belumlah seperti saat ini. Namun pengenalan komputer pada saat itu jangan diartikan bahwa aku sudah bisa mengoperasikan, noo .... sebab pengenalan pada saat itu baru pengenalan fisik saja. Bagiku, komputer hanya sebagai pelengkap secara materi , sama halnya dengan kita memiliki radio, tape, atau televisi, hanya sebuah hasil karya manusia untuk kemajuan zaman. Aku belum mengerti apa-apa tentang teknologi yang satu ini. Saat itu yang bisa kupetik nilai kegunaannya , bahwa komputer hanyalah sebagai pengganti mesin tik. Di tempat dimana aku mengajar, semua pekerjaan administrasi masih menggunakan mesin tik biasa, sehingga suasana ruang Tata Usaha (TU) penuh kebisingan. Kadang terselip rasa kebanggaan bahwa pada saat itu aku sudah memiliki alat yang lebih modern untuk mengetik (tentu saja budget dari suami). Pekerjaan guru yang rutin adalah mempersiapkan soal untuk ulangan, dan aku sudah mulai memahami pengoperasian komputer walau hanya sebatas mengetik saja. Saat itu aku merasa bahwa aku mulai setahap lebih maju dari teman-teman seprofesiku. Aku mulai berpikir, kapan ruang TU itu hening dari kebisingan mesin tik konvensional yang sarat dengan kelambanan pekerjaan. Namun batinku mengatakan ”hebat mereka” (karyawan TU). Dengan pekerjaan yang bertumpuk, mereka tetap mengerjakan segala pekerjaan administrasi sekolah dengan penuh kepercayaan diri dan kesabaran yang tinggi.
Lambat tetapi pasti, kemajuanku dalam mengoperasikan komputer secara otodidak (tanpa lewat sebuah lembaga kursus komputer) mulai terlihat, namun masih tetap hanya untuk kebutuhan membuat soal saja. Belum banyak memang ilmu yang bisa kuserap dari teknologi informasi yang satu ini. Tambahan lain yang bisa membuatku kagum dengan alat ini adalah dapat mengisi hari-hari senggangku dengan memainkan game-game yang ada di komputerku. Entah itu positif atau tidak, yang jelas aku senang berada di rumah seharian hanya untuk ”mengutak-atik” komputer bermain game. Ketika itu anak-anakku masih kecil-kecil, dan komputer full aku yang ”menguasai”.
Dengan berjalannya waktu, aku mulai menambah pengetahuanku, dari yang hanya mengetik saja, aku mulai bisa menggunakan program EXCEL untuk mengolah nilai murid-muridku. Sungguh menakjubkan, pekerjaanku yang biasanya kuselesaikan beberapa hari, dapat diselesaikan dengan hitungan jam, bahkan menit. Sungguh ini adalah bantuan Allah lewat alat yang canggih ini sehingga mempermudah pekerjaanku. Hanya penatku berpindah tempat. Biasanya tangan (jari-jariku) yang sakit karena kecapekan menulis, sekarang pundakku (bahu) yang sakit bila terlalu banyak mengetik.
Sekarang, tiga belas tahun berlalu (2006), perubahan yang signifikan terlihat di sekolahku. Pertanyaanku yang lalu terjawab sudah. Suasana hening telah dirasakan bila aku melewati ruang TU, karena 95 % administrasi dikelola secara komputerisasi. Hanya sekali-kali terdengar suara dentingan yang berasal dari mesin tik konvensional yang keberadaannya masih tetap dipertahankan. Nilai-nilai murid tidak lagi dikerjakan secara manual, semuanya sudah serba cepat. Untuk selanjutnya,
paling tidak, guru harus beradaptasi terhadap kemajuan teknologi dan terlebih lagi agar tidak jauh tertinggal dari murid, mengingat fasilitas komputer yang diperuntukkan untuk murid di dalam ruang komputer ada 100 unit. Sungguh membanggakan. Sebuah kemajuan yang dulu hanya impian, terealisasi sudah.
Profesiku sebagai seorang guru geografi, banyak keinginan yang barangkali bisa aku sebut dengan ”impian”(karena entah bisa terealisasi atau tidak), misalnya bagaimana mengantarkan materi pelajaran dengan menarik dan tidak membuat murid-muridku jenuh yang pada akhirnya dapat membuat mereka tertidur pulas di dalam kelas mendengar dongeng ibu gurunya. Sungguh bukan ini yang kuinginkan. Aku ingin murid-muridku tidak hanya pandai dalam pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, yang boleh dikatakan pelajaran primadona di SMA karena murid-murid lebih antusias
terhadap mata pelajaran ini, namun keinginanku mereka juga bisa menerima pelajaran geografi dengan baik bukan hanya karena ingin mendapatkan nilai saja, melainkan memang suatu pelajaran yang dibutuhkan keberadaannya dan kepentingannya. Rasanya belum ada siswa yang mengidolakan geografi sebagai mata pelajaran favorit mengingat materi dan mungkin saja penyajian materi di kelas yang terlalu monoton dan tidak bervariasi dari tahun ke tahun. Padahal bila melihat objek geografi yang akrab dengan kehidupan sehari-hari bukan tidak mungkin mata pelajaran yang satu ini dapat juga menjadi primadona di sekolah-sekolah. Penasaran, akupun sambil-sambil membaca, bertanya, dan mengamati mengenai perkembangan pendidikan di negara maju, dan sungguh membanggakan karena mayoritas murid di negara tertentu (sebut saja Perancis) sangat menyenangi geografi, dan geografi mendapat tempat di hati para murid dan masyarakat umum. Banyak manfaat yang telah mereka peroleh dalam mempelajari geografi. Seperti mengetahui keadaan cuaca yang akrab dalam kehidupan sehari-hari, apalagi negara yang terkelompok pada negara maju umumnya mengalami empat musim dengan perubahan cuaca sehari-hari yang signifiklan. Yang kuketahui, ada channel khusus mengenai cuaca di televisi negara-negara maju yang disiarkan 24 jam. Ini sebagai contoh, bahwa cuaca yang merupakan bagian dari ilmu geografi sangat mendapat perhatian khusus. Aku membayangkan rasanya bangga bila menjadi guru geografi di negara maju. Dari dulu tekadku satu yaitu bagaimana memajukan pelajaran geografi di negara Indonesia tercinta ini. Aku berpikir untuk menyusun rencana pelajaran lewat teknologi informasi. Setahap lagi kemajuan yang aku miliki. Aku mulai bisa membuat bahan pelajaran menggunakan Power Point, dan melengkapi bahan-bahan pelajaran dengan gambar-gambar yang kuambil lewat internet dalam Google website, serta artikel-artikel yang berkaitan dengan materi pelajaran geografi yang tidak terdapat di dalam buku pelajaran murid-muridku. Disamping itu, porto folio (kumpulan tugas-tugas) untuk murid-muridku, kusarankan untuk selalu menggunakan komputer, dan mencari bahan-bahannya lewat internet. Sebagai contoh, pernah aku memberikan tugas kepada murid-muridku mengenai negara-negara maju, salah satunya adalah Jepang. Tugas mereka adalah menceritakan negara Jepang di depan kelas, dengan topik yang berbeda dalam durasi waktu 5 menit. Yang sangat membanggakan, jumlah siswa yang tiap kelasnya 40, memiliki 40 topik juga untuk diceritakan di depan kelas. Semuanya dapat digali lewat internet. Sungguh suatu kemudahan bagi profesiku sebagai guru maupun murid-muridku bila dapat menggunakan Teknologi Informasi.
Alhamdulillah, di sekolahku mulai ada infokus, tentu saja membuka peluang bagiku untuk menyajikan materi lewat instrumen yang satu ini. Walaupun saat ini sekolah menyediakan fasilitas notebook (laptop) lebih kurang 6 unit, namun aku tetap berkeinginan memiliki sendiri komputer kecil ini. Lagi-lagi suamiku yang selalu penuh perhatian akan profesiku, memenuhi keinginanku yang satu ini, sebab bila harus menggunakan kocek sendiri manalah aku mampu (bukan rahasia lagi kan kalau gaji guru di negara kita ini minim).
Pucuk dicinta ulam tiba, begitu kata pepatah kuno. Ibarat gayung bersambut, maka impianku lagi-lagi menjadi kenyataan. Kebutuhanku dan keinginanku terpenuhi lewat fasilitas yang ada di sekolah ini dan apa yang diberikan suamiku untuk melengkapi dunia mengajarku. Lagi-lagi aku bersyukur.
Materi pelajaran geografi dari mengenai lapisan kulit bumi, gunung api, gempa, sungai, danau, laut, peta, penginderaan jarak jauh (remote sensing), bahkan materi yang paling baru yaitu Sistem Informasi Geografi (SIG), semuanya dapat disajikan lewat komputer. Di dalam komputerku saat ini sarat dengan materi pelajaran yang sewaktu-waktu dapat kupergunakan untuk mengajar di kelas. Komputer kecilku selalu menyertaiku bila di lingkungan kerja. Aku merasakan akan ada sesuatu yang hilang bila komputer kecilku ini tidak menyertaiku di sekolah.
Seperti yang kusebutkan di atas, materi kadangkala kudapatkan lewat internet. Lewat internet, segala informasi dapat digali. Satu kemampuan lagi bertambah untuk diriku yaitu dapat mengoperasikan informasi lewat internet. Kemajuan yang sangat berarti, karena aku merasakan bahwa sudah seharusnya aku memiliki kemampuan seperti ini di zaman era globalisasi. Sebutan ”gaptek” bagi kaum ibu pada umumnya rasanya dalam hati kecil ku tidaklah berlaku pada diriku.
Kini, tiga tahun sudah aku menerapkan teknologi informasi di kelas di mana aku mengajarkan materi geografi. Mulai terlihat antusiasme murid selama aku mengajar. Geografi yang ruang lingkupnya sangat luas memang sangat memerlukan media modern seperti ini. Satu hal lagi yang bertambah pada diriku, aku sekarang gemar mengoleksi CD National Geographic serta Discovery Channel, yang kubeli dari penghasilan bulananku. Banyak manfaatnya buat aku dan murid-muridku, karena aku bisa memperlihatkan film dari CD-CD tersebut bila ada yang berkaitan dengan materi pelajaran pada saat itu.
Terimakasih ”Teknologi Informasi” yang akhirnya dapat merambah di dunia pendidikan (yang sarat dengan kekurangan fasilitas) sehingga dapat membantu guru-guru di Indonesia ini menjawab tantangan pendidikan dalam era globalisasi ini.

Balikpapan, 24 Juni 2006

SEBUAH ANALISA KASUS DALAM MATA KULIAH ”INTELEGENSI DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN” (Yayuk Hapsari)

KASUS :
Ketika Kepala Sekolah di sebuah Sekolah Menengah sedang membacakan nama-nama siswa yang tergolong pintar dalam yudisium sekolahnya, seorang siswa tiba-tiba bertanya: “ Ibu, siapa yang lebih pintar? Einstein atau Christian Ronaldo? Taufik Hidayat atau BJ. Habibie?
Ibu Kepala Sekolah tidak saja kaget, tetapi juga marah. Dengan suara tegas dan berapi-api, ia berkata : “ Mana mungkin Christian Ronaldo yang kerjanya bermain bola dibandingkan dengan Einstein yang menemukan hukum relativitas. Apalagi membandingkan B.J. Habibie dengan Taufik Hidayat!”
Siswa penanya yang kebetulan pemain sepak bola terkenal yang mengharumkan nama sekolahnya… tidak hanya kecewa dengan jawaban itu, tetapi juga merasa sia-sia dengan keterampilannya. Dia tidak pernah dianggap cerdas dan pantas memperoleh penghargaan kecerdasan dari sekolah. Dia mengalami kekecewaan serupa sebagaimana yang dialami seorang pemain gitar terkenal dari sekolahnya.
Kasus nyata di beberapa sekolah membuka mata banyak orang tentang kecerdasan. Apakah yang cerdas hanyalah mereka yang pintar matematika dan bahasa; yang IQ mereka di atas 120? Fakta lain membuktikan bahwa sebagian besar siswa yang nilai raportnya bagus banyak yang kemudian menganggur. Sementara yang pintar main musik dan piawai berolahraga diterima di beberapa bank sebagai karyawan tetap. Lebih hebat lagi, mereka jauh lebih sukses dibandingkan teman-temannya yang pintar matematika dan bahasa itu.
Kasus lain terjadi di fakultas Kedokteran. Diantara dokter yang lulus tepat waktu dengan indek prestasi komulatif (IPK) di atas 3,5 merupakan dokter-dokter yang gagal, baik sebagai kepala Puskesmas maupun dokter praktek swasta. Ketika menjadi kepala puskesmas, mereka menjadi pemimpin yang gagal. Ketika membuka praktik, mereka kekurangan pasien. Sementara kawan-kawan mereka yang hampir drop out karena terlalu lama sekolah, juga dengan IPK biasa, justru menjadi dokter-dokter yang berhasil ketika bekerja di lingkungan masyarakat. Diantaranya bahkan menjadi dokter teladan.
Bagi orang awam, kasus tersebut di atas merupakan hal biasa. Tetapi buat kita yang merupakan para cendikiawan pendidikan menjadi luar biasa. Karena kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh nilai raport atau IPK seseorang.
Berpijak pada paparan di atas, penulis sangat setuju kali jika kecerdasan seseorang itu tidak diestimasi melalui sudut pandang intelektual saja melainkan beberapa aspek lain seperti EQ dan SQ yang sangat terkait seperti budi pekerti yang luhur , kepedulian pada sesama yang ditunjukkan melalui perasaan simpati dan empati menjadi bagian penting dalam hidup dan kehidupan seseorang.
Dari kasus di atas, jelas terlihat bahwa seseorang yang cerdas secara intelektual, lulus dengan predikat “ Dengan Pujian” daan meraih IPK tertinggi, belum menjamin mereka akan berhasil dalam karya, karir, dan kesuksesan hidup. Hal ini disebabkan oleh watak mereka yang selalu ingin ‘lebih’ dibanding dengan yang lain. Mereka tidak mau mendengar perkataan orang lain karena sikap egois jauh lebih mendominasi diri mereka dari pada mendengar perkataan orang lain.
Arif Rahman hakim, seorang praktisi pendidikan mengatakan bahwa orang cerdas itu, adalah orang yang suka mendengar perkataan orang lain dengan bijak, hingga kemudian ketika giliran berbicara tiba, mereka akan menanggapi setiap perkataan lawan bicaranya secara logis dan tidak bertele-tele. Dengan kata lain, by listening we can learn a lot. (dengan mendengar, kita bisa belajar banyak hal). Belajar bagaimana menghargai orang yang sedang berbicara, belajar bagaimana meredam emosi yang berlebihan ketika orang lain mengemukakan argumentasinya, dan belajar bagaimana menjadi seorang pemimpin yang selayaknya mendengar keluh kesah rakyatnya yang sedang dirundung masalah. Bukan menjadi raja, yang perkataannya selalu ingin didengar dan ditaati rakyatnya.
Untuk hal tersebut, seorang Lex Mckee juga menambah satu diantara rangkaian kecerdasan yang sudah umum di telinga kalangan masyarakat. Kecerdasan itu adalah LQ atau Listening Quotient. LQ merupakan kecerdasan yang jarang sekali dimiliki banyak orang apalagi di era millenium ini, di mana perasaan simpati dan empati kepada orang lain minim sekali. Perasaan tepo seliro sudah tidak membudaya dikalangan masyarakat. Hubungan silaturahim seperti bertandang atau bertamu dari rumah ke rumah telah tergantikan oleh sms, twitter, flixter dan facebook dan tele conference. Hal-hal di atas itulah yang merupakan imbas dari kemajuan ilmu dan teknologi yang berpengaruh dominan terhadap cara berpikir masyarakat kelas atas maupun kelas bawah. Bias teknologi yang begitu dahsyat ternyata juga menghambat kreatifitas masyarakat pemerhati pendidikan khususnya kalangan pelajar. Konsentrasi mereka menjadi berkurang dibarengi tingkat kepekaan sosial yang semakin menipis. Nilai luhur bangsa (Indigenous value) yang begitu di junjung tinggi oleh rakyat terdahulu, telah hilang seiring dengan kemajuan IPTEK yang begitu drastis.
Beberapa gambaran peserta didik masa kini adalah acuh tak acuh ketika berpapasan dengan gurunya. Tidak ada lagi jabat tangan hangat kepada orang yang lebih tua, senyum, salam dan sapa kepada sang guru ketika bertemu guru di beberapa tempat umum yang sering dikunjungi orang. Yang ada hanyalah, siswa mengalihkan pandangannya ketika bertemu guru seperti orang yang tidak pernah kenal sebelumnya. Biasanya siswa yang melakukan tindakan tersebut di atas adalah siswa yang cerdas secara intelektual dan berasal dari keluarga menengah ke atas. Sementara siswa yang berasal dari keluarga sederhana dan kecerdasannya di bawah rata-rata atau dengan kata lain standar, biasanya lebih peka dengan lingkungan dan orang-orang sekitarnya termasuk gurunya.
Pembaca yang budiman, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dunia pendidikan di Indonesia maupun dunia hanya memerlukan orang-orang yang cerdas secara intelektual (IQ tinggi)? Apakah tidak ada penghargaan bagi anak yang cerdas secara emosional (EQ) yang selalu bermanfaat bagi orang lain? Apakah tantangan dunia hanya terbatas pada kompetisi intelektual? Apakah kecerdasan hanya dinilai dari kemampuan otak bukannya hati?
Pembaca yang budiman, Eileen Rachman, seorang psikolog yang juga Direktur Experd, konsultan sumber daya manusia pada acara seminar di Jakarta bertajuk 10 cara mempertajam IQ dan EQ anak, mengatakan bahwa IQ hanya digunakan antara lain membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara runtut dan mencari hubungan antara satu bentuk dan bentuk lainnya. Tetapi IQ tidak mengukur kreativitas, kemampuan sosial dan kearifan.
Jelasnya, tidak tampak sedikitpun hubungan timbal balik antara manuasia yang satu dengan manusia yang lain sebagai makhluk sosial, yang ditunjukkan oleh orang yang ber IQ tinggi. Sementara orang yang ber IQ standar atau bahkan di bawah rata-rata lebih sensitif peduli dengan keadaan dan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Kepedulian sosial yang tinggi mampu membawa anak meraih kesuksesan yang diinginkan. Karena jiwa sosial mereka yang tinggi, keberadaan mereka sangat dibutuhkan di masyarakat. Masyarakat pun tidak sungkan untuk membalas kepedulian anak-anak yang berjiwa sosial tadi dengan kebaikan yang banyak. Makanya bukan mustahil, anak-anak yang berhasil saat ini adalah anak-anak yang cerdas batinnya karena selalu bermanfaat bagi masyarakat. Jiwa anak yang senantiasa terkontrol secara emosi dan spritualnya membawa mereka pada kenyataan yang tertuang perkataan dahsyat Rasulullah SAW dalam sebuah hadist berbunyi, “Maala yarham, laa yurham,” artinya barang siapa tidak menyayangi, tidak akan disayangi. Demikian pula sebaliknya. Spritual anak begitu terasah karena pengaruh orang tua dan lingkungan di mana dia berada. Tapi, bukan tidak mungkin, sang anak berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya karena dia sudah mulai membuka diri, menerima segala bentuk hidayah dan kebenaran sesuai dengan agama yang diyakininya.
Dalam Al Qur’anul Karim, QS. Asy-Syams: 8, dijelaskan bahwa
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
k etakwaannya.
Begitu jelasnya Surat cinta Allah, yang menerangkan kepada hambanya bahwa ada 2 acuan untuk memilih jalan mana yang akan diambil dalam menempuh kehidupan yang bermakna. Bermakna yang tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri, tetapi juga orang lain yang senantiasa bersentuhan dengan kita. Dua jalan yang menggambarkan realitas kehidupan manusia kebenaran dan kebathilan. Dua jalan yang akan menggiring manusia untuk cerdas secara akhlak atau cerdas tapi tidak berakhlaq. Pilihan atas jalan kebenaran atau ketaqwaan menjadi skala prioritas yang harus ditempuh jika ingin menghasilkan generasi penerus yang berguna di dunia dan akhirat.
Pembaca yang budiman, seyogyanya, orang-orang yang berkepentingan di dunia pendidikan, sekaligus peduli dengan peningkatan kualitas pendidikan secara menyeluruh, diharapkan memiliki perspektif lurus bahwa pendidikan tidak hanya diukur oleh nilai akademis semata yang terlihat melalui IQ sang anak saja, melainkan ada banyak kecerdasan lain yang dimiliki anak dan mampu membawa dia kepada kesuksesan yang sebenarnya. (the truly success)
Hendaknya tiga ranah pendidikan yang dikemukakan dalam Taxonomy Bloom benar-benar diterapkan secara konsisten dan komitmen demi menghasilkan lulusan-lulusan yang cerdas dan berakhlaq mulia. Karena, pada kenyataannya, satu diantara tiga ranah tersebut yakni afektif, hanya digunakan saat menilai siswa selama proses pembelajaran dan kenaikan kelas. Sementara pada saat kelulusan, dalam ijazah mereka hanya tercantum nilai-nilai sebatas kognitif dan psikomotorik.
Lantas, bagaimana dengan perilaku baik dan buruk siswa yang terekam dalam ranah afektif? Jawabannya tidak berpengaruh sama sekali. Menurut hemat penulis, afektif ibarat pelengkap dan penderita yang tidak memiliki makna khusus dalam hati sang pemegang kebijakan. Tapi penulis yakin, jauh dari lubuk hati yang paling dalam, seluruh pendidik di dunia ini, termasuk penulis yang juga berprofesi sebagai guru, sangat menginginkan bahwa kriteria kelulusan siswa tidak hanya diukur melalui aspek kognitif dan psikomotorik, dengan kata lain, LULUS hanya bagi mereka yang mampu menempuh Ujian Nasional dengan nilai yang tinggi, tapi juga mereka yang mampu menempuh ujian kebaikan dan kesabaran dalam berperilaku namun tak pandai dari sisi akademisnya (kognitif dan psikomotorik).
Penulis, mewakili guru di seluruh Indonesia menginginkan keadilan dan penghargaan pada siswa yang berakhlaq mulia namun tak memiliki bakat khusus yang berhubungan dengan IQ. Mereka layak diperhitungkan karena keberadaan mereka akan mengisi kekosongan ruh yang haus akan nilai-nilai kebaikan, kepedulian, simpati dan empati pada sesama. Bayangkan, apa yang akan terjadi pada sebuah keluarga, jika hanya dihuni oleh anak-anak dan orang tua yang hanya memilki IQ tinggi tapi tak berakhlaq? Apakah keluarga mereka akan berjalan harmonis? Atau dalam skala yang lebih besar, apa yang akan terjadi pada suatu negara jika hanya dihuni oleh orang-orang yang cerdas secara IQ dan tidak pernah mengerti bagaimana mengelola IQ dan ESQ? Tentunya, negara itu akan memilki masalah besar, karena setiap diri menganggap bahwa mereka lebih pintar dari yang lain sehingga tidak ada yang mau dinasehati. Setiap tindakan yang mereka lakukan selalu dianggap benar walaupun tidak sesuai dengan syari’at agama.
Pembaca yang budiman, apa yang terjadi di negara kita tercinta Indonesia, adalah bukti bahwa banyak orang cerdas yang dihasilkan oleh bangsa kita tercinta, ini. Para pejabat yang sudah terseleksi melalui fit and proper test di lingkungan kerjanya masing-masing, ternyata hanya diukur dari sisi IQnya saja. Hal ini terbukti bahwa banyaknya tindakan kriminal dan amoral termasuk korupsi yang tidak pernah terselesaikan, dan dilakukan oleh para oknum penting tersebut, sehingg dianggap biasa oleh khalayak ramai, karena terlalu banyak urusan yang dikerjakan oleh oknum tersebut sehingga menyita waktu dan energi serta alasan-alasan klise lain yang tidak seharusnya diutarakan.
Bahkan ada pula yang menjawab dengan pelan dan datar bahwa, “Setiap manusia pasti tidak pernah luput dari salah dan khilaf, untuk itu mohon dimaafkan.” Manusiawi memang, tapi kesalahan yang mengada-ada timbul karena ada niat dari sang pelaku, bukan karena unsur ketidaksengajaan. Ini adalah polemik yang tidak berkesudahan, sudah saatnya pemimpin, sang pemegang kebijakan, mengupayakan win win solution, mulai membenahi ketidakrapian dan ketidakjelasan sebuah pemerintahan. Sudah saatnya pemerintah mulai menghargai anak bangsa yang berbudi pekerti yang luhur untuk menduduki posisi penting dan strategis di pemerintahan hingga mengurangi atau mengikis habis tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh orang-orang ber IQ tinggi tetapi tidak memiliki EQ dan SQ.. Keberadaan mereka yang memiliki EQ dan SQ akan membawa perubahan besar dalam suatu negara. Perubahan menuju negara maju, dan selalu berkomitmen tinggi dan konsisten menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan jujur. Dan itu harus dimulai sejak sekarang.
Untuk itu, pembaca yang budiman, mohon diklarifikasi rahasia umum bahwa pendidikan dewasa ini, hanya menilai kematangan dan kecakapan siswa dari sudut kognitif dan psikomotorik saja. Sementara siswa yang berakhlaq baik tapi tidak memiliki kematangan dalam hal IQ tidak berhak menyandang predikat LULUS. Pendidikan di Indonesia harus berubah dan mengadakan perubahan besar secara dinamis dan berkesinambungan.
Perubahan itu akan menjadi dasar perilaku hidup bangsa Indonesia ke depan. Perubahan itu ditandai dengan manajemen pendidikan yang memiliki kurikulum terpadu dan lebih mengutamakan pendidikan moral di atas segalanya. Jika sejak dini, anak dididik untuk cerdas secara EQ dan SQ maka kecerdasan lain akan melengkapi pribadi anak dengan sendirinya. Bantuan orang tua khususnya pendidik menjadi pemicu utama lahirnya peserta didik yang cerdas secara akhlaq dan akademisnya.
Sejalan dengan paparan di atas, dr. Andre Meaza mengatakan bahwa masa usia dini merupakan periode emas untuk melakukan proses stimulasi aktif melalui proses penginderaan dengan tujuan membentuk wiring system. Tahapan awal kehidupan anak merupakan tahapan penting karena anak sudah mampu menerima keterampilan dan pengajaran sebagai dasar pengetahuan dan proses berpikir. Pada tahap itulah perlunya menanamkan nilai EQ dan SQ agar anak dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga orang banyak.
Kecerdasan IQ yang sering dibangga-banggakan orang tua melalui nilai raport anak yang tinggi, ranking pertama, ijazah tertinggi baik di kota maupun provinsi tidak menjadi tolak ukur, bahwa anak itu akan berhasil dalam meniti karir dan masa depannya. Sementara ketakutan orang tua karena memiliki anak yang hanya bisa bermain bola dan gitar serta tidak paham sama sekali dengan semua pelajaran di sekolah, harus bisa diminimalisir karena setiap anak pastinya memiliki kecerdasan beragam yang kelak bermanfaat bagi diri dan kehidupannya kelak.
Paradigma orang tua dan pendidik dalam dunia pendidikan hendaknya di ubah bahwa anak yang pintar dan berhasil itu tidak hanya dilihat melalui tingginya nilai Matematika, IPA dan Bahasa Inggris yang terekam melalui raport dan ijazahnya.Tanamkan paradigma berpikir maju bahwa IQ hanya mengukur sebagian kecil dari kecakapan. Timbulkan keyakinan bahwa anak yang cerdas itu justru yang bisa bereaksi secara logis dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya.
Sebagai pendidik, mari motivasi diri kita untuk menjelaskan kepada anak didik kita, tumpuan harapan bangsa, tentang kecerdasan atau intelegensi jamak yang pastinya dimiliki oleh pribadi-pribadi tertentu. Katakan kepada mereka bahwa banyak jalan menuju Roma, begitu juga jalan menuju kecerdasan. Ada banyak sekali cara untuk menjadi cerdas. Kalau ada banyak cara, berarti ada banyak tanda pula untuk melihat kecerdasan anak. Tanda itu bukan hanya dapat dilihat melalui prestasi akademisnya atau sertifikat hasil tes intelejensia.
Tumbuhkan kesadaran dan pemahaman bahwa setiap anak terlahir cerdas dan berbakat. (Thomas Armstrong, P.Hd) Kalaupun ada yang tampak tak menonjol, itu karena beberapa anak menunjukkan bakatnya lebih lambat dibandingkan anak yang lain. Sebagai orang tua yang bijak, kesabaran menjadi dayak tarik tersendiri bagi anak yang sangat ingin membahagiakan orang tuanya melalui apa yang bisa dia raih dan capai, bukan hanya berbentuk prestasi akademis, tapi perilaku peduli dan menyayangi orang tuanya, membantu menyelesaikan pekerjaan ibu dan ayah di rumah adalah sebuah kecerdasan yang tidak bisa dipandang sebelah mata, kecerdasan rohani, impian semua orang.
Untuk itu orang tua bijak hendaknya memberikan banyak pengalaman berharga dan stimulasi kepada anak. Stimulasi dan sensasi pengalaman yang intens itu berguna untuk segera membangkitkan kecerdasan sang anak. Untuk mencapai semua itu, starting point yang harus dilakukan adalah mulai dari keluarga terkecil yakni rumah tangga. Konsep awal ini bila dipahami dengan baik, akan membuat semua orang tua memandang semua potensi anak lebih positif. Terlebih lagi, jika orang tua dan guru dapat menyiapkan sebuah lingkungan yang menyenangkan dan memberdayakan. Sekolah dan rumah seyogyanya menjadi tempat indah dan nyaman bagi mereka untuk menggali potensi diri.
Konsep Multiple Intellegences perlu di komunikasikan pada anak agar timbul rasa percaya diri mereka dalam belajar dan beraktifitas. Ajarkan kepada anak bahwa mereka bisa belajar apapun yang ingin mereka ketahui. Apa yang ingin diketahuinya itu, dapat ditemui dalam kehidupan nyata yang dapat mereka alami sendiri. Sementara bagi orang tua maupun guru, yang dibutuhkan hanyalah doa, kesabaran, kreatifitas dan kepekaan untuk mengasah kemampuan anak. Orang tua hendaknya berpikir secara terbuka dan mau menerima kukarangan dan kelebihan yang dimiliki oleh sang anak. Keluarlah dari paradigma tradisional yang mengatakan bahwa keberhasilan anak hanya bisa dinilai dari nilai Matematika, IPA dan Bahasa saja. Khargai setiap bakat dan potensi dalam diri anak untuk menggapai masa depan mereka, masa depan penerus roda pemerintahan Indonesia, dan yang pasti, masa depan agama, nusa dan bangsa. Semoga!

Skenario masa depan : Mencari paradigma alternatif, melalui pendidikan homeschooling (Yayuk Hapsari)

A. Pengertian.

a) Skenario Masa Depan dapat diartikan sebagai rancangan yang kita buat untuk waktu yang akan datang, jauh ke depan, yang biasa kita sering dengar dengan jangka panjang. Rancangan ini dibuat untuk mengantisipasi terjadinya pola pikir lama, yang membelenggu pendidikan serta untuk meningkatkan daya saing dengan maraknya bisnis pendidikan saat ini. Bersaing tidak hanya di dalam negeri saja, tapi juga dengan negara tetangga khususnya.

b). Paradigma dalam arti Weltanschauung (Jerman) adalah untuk pandangan dunia). Misalnya, dalam ilmu sosial, istilah ini digunakan untuk menggambarkan serangkaian pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai yang mempengaruhi cara individu memandang realitas dan menanggapi persepsi itu. Para ilmuwan sosial telah mengadopsi ungkapan Kuhnian "pergeseran paradigma" untuk menunjukkan perubahan dalam cara suatu masyarakat tertentu pergi tentang pengorganisasian dan pemahaman realitas. Sebuah paradigma "dominan" mengacu pada nilai-nilai, atau sistem pemikiran, dalam masyarakat yang paling standar dan banyak diadakan pada waktu tertentu. Paradigma dominan dibentuk baik oleh latar belakang budaya masyarakat dan konteks historis saat. Berikut ini adalah kondisi yang memfasilitasi suatu sistem berpikir untuk menjadi paradigma dominan diterima.
Friedrichs (dalam Ritzer, 2003:6) mengungkapkan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Lebih lanjut Ritzer (2003:7) mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.

c) Paradigma alternatif adalah paradigma konstruktivis, sebagai sistem pendidikan dan khususnya sistem mendidik sedemikian rupa, sehingga orang: mau dan mampu belajar tentang diri dan lingkungannya, tentang lingkungan alam, dan sosialnya, tentang kebutuhan dan potensinya, tentang ancaman dan peluangnya, tentang kewajiban dan haknya, menurut hukum masyarakat dan negaranya, lust but not least, menurut hukum Allah dan RosulNYA.

Skenario masa depan dengan mencari paradigma alternatif yang penulis kemukakan adalah Pendidikan homeschooling yang pada akhir-akhir ini banyak diminati para orang tua yang sangat percaya diri untuk tidak menyekolahkan putra putrinya ke sekolah umum dalam mengantarkan putra-putrinya menjadi manusia yang memiliki karakter kuat.
Pendidikan homeschooling ini juga sebagai jawban untuk mengatasi semakin meningginya jumlah anak yang putus sekolah akibat mahalnya biaya sekolah saat ini di Indonesia. Paling tidak, anak-anak putus sekolah dari golongan bawah, juga dapat menikmati sekolah. Sayangnya, yang mengadakan homeschooling masih terbatas pada orang-orang yang berjiwa sosial yang disebut volentir. Pendidikan informal yang satu ini masih membutuhkan orang-orang yang berjiwa sosial agar bisa berkembang dengan baik. Sementara lembaga swasta dapat berkiprah dengan mengeruk uang, karena sasaran dari peserta didiknya dari golongan ekonomi kuat.

Apa sebenarnya Pendidikan homeschooling itu ?
Pendidikan Home schooling adalah sekolah rumah yang kini mulai muncul menjadi pendidikan alternatif. Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).
Home schooling dapat juga diartikan model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar ( Sumardiono dalam Simbolon : 2008).
Klasifikasi pendidikan homeschooling ini ada 3 macam, yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas. Dalam bentuk tunggal apabila diselenggarakan sebuah keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain. Kategori majemuk apabila dilaksanakan berkelompok oleh beberapa keluarga. Selanjutnya, dikatakan komunitas bila persekolahan di rumah itu merupakan gabungan beberapa model majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur, seperti pendidikan nonformal. Kurikulum pembelajaran homeschooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepad akurikulum nasional. Model pendidikan homeschooling ini diharapkan dapat menjadi alternatif di masa depan.

B. Konsep Home schooling
Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep homeschooling ini, bahkan jauh sistim barat datang. Para orang tua zaman dulu lebih sering mendidik putra-putrinya sendiri, terlebih lagi kaum kiyai, bangsawan, seniman tempo dulu. “Manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How children Fail, 1964). Inilah yang menjadi filosofi berdirinya home schooling. Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Istilah home schooling merupakan hal baru. Di Indonesia, home schooling belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Akan tetapi, jika dilihat konsepnya, home schooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal, sehingga sekolah rumah ini bukanlah hal baru. Fleksibilitas dan metodologi pembelajarannya cenderung berbeda dibandingkan dengan sekolah formal. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode pembelajaran yang tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsep homeschooling memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerjasama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standar alternatif bagi kompetensi lulusan (ijazah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.
Saya teringat ketika kecil (sekitar tahun 1970), salah satu keluarga musisi yang bernama Said Kelana, mendidik anak-anaknya yang ada 4 orang secara informal, dengan mendatangkan guru-guru privat dengan alasan bila menyekolahkan di sekolah umum, banyak waktu yang tidak efektif, sedangkan anak-anaknya memerlukan latihan musik setiap hari. Jadi, Said Kelana pada saat itu telah menerapkan konsep homeschooling untuk anak-anaknya. Ketika itu perlakuan Said Kelana pada anak-anaknya agak sedikit langka, sehingga banyak yang berpendapat Said Kelana sebagai orangtua yang tidak memikirkan bagaimana sosialisasi anak-anaknya, karena ruang lingkupnya hanya di sekitar rumah. Akan tetapi, hasilnya luar biasa. Putra-putri Said Kelana menjadi musisi terkenal dengan ciri khas disamping bersuara merdu, juga permainan Saxophone dan terompet sejak usia anak-anak. Salah satu putrinya yang masih exist saat ini adalah Imaniar yang multitalenta.
Saat ini juga, artis Nenok Warisman mendidik putra-putrinya melalui pendidikan home schooling. Terlebih lagi Nenok menginginkan putra-putrinya memiliki vi misi Islami yang kental. Menurut pengalamannya, mendidik sendiri jauh lebih baik, karena pendidikan anaknya dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua. Nenok Warisman mengemukakan ini dalam sebuah seminar beberapa tahun yang lalu, di Balikpapan. Menurut pengalamannya, anak sangat terkontrol dalam mendapatkan ilmu. Tidak saja kognitif yang didapat, akan tetapi afektif dan psikomotor dapat terasah dengan sangat baik, jauh melebihi output sekolah-sekolah formal. Nenok menceritakan pengalamannya ketika anaknya sangat berempati dengan nasib anak-anak sebayanya yang menjadi pemulung, maka dengan tidak segan-segan anaknya pun sering bergaul dengan pemulung dan ikut merasakan bagaimana menjadi pemulung.
Dengan demikian, sebenarnya dalam pendidikan ini diperlukan peran dan komitmen total orang tua. Selain pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

C. Tujuan Pendidikan Home schooling
Saat ini masyarakat mulai banyak meminati pendidikan homeschooling sebagai sarana pengembangan pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam sistem pendidikan nasional, home schooling adalah perwujudan dari pendidikan informal yang diakui eksistensinya di dalam UU no. 20 tahun 2003. Jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1).
Mauliya D. Kembara (2007) menyatakan bahwa secara yuridis home schooling basis legal yang kuat dan merupakan salah satu kekayaan keragaman model pendidikan yang berjalan di tengah masyarakat. Dengan pendekatan at home anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar sesuai dengan keinginannya kapan saja dan dimana saja seperti ia berada di rumah.
Salah satu filosofi mendasar dari homeschooling yang membedakannya dengan sekolah formal adalah peluang untuk melakukan kustomisasi materi dan model pembelajaran bagi anak-anak. Homeschooling mendorong interaksi antara orangtua dan anak lebih intensif. Pengawasan orang tua secara intensif akan memonitor perkembangan anak secara mental, pembelajaran dan kontak social serta penguasaan intelektual mereka. Selayaknya sebagai seorang pendidik kita harus berfungsi ganda untuk menanamkan sikap mental belajar mandiri kepada anak sehingga sekaligus membantu mereka lebih cepat memahami perbedaan. Sentuhan lembut tangan sang pendidik akan mampu membuka “cakrawala gelap’ home schooling selama ini. Hal inilah yang membedakan homeschooling dengan pendidikan formal.
Bila pendidikan informal seperti ini bisa mendampingi pendidikan formal, maka tidak akan ada anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Maka tujuan lain dari pendidikan nasional tidak saja untuk mencerdaskan bangsa, akan tetapi bisa juga untuk meningkatkatkan daya saing antar bangsa.

D. Skenario seperti apa ?
Menurut hemat penulis, home schooling yang berhasil harus mempunyai visi dan misi ke depan sesuai dengan managemen pendidikan yang dikelola oleh institusi tersebut.
Visi dan misi harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan ditandai dengan banyaknya permintaan dan tuntutan yang harus dilaksanakan sehubungan dengan proses pembelajaran. Kita selaku pendidik tidak mungkin memaksakan siswa untuk belajar layaknya siswa di sekolah formal, karena tujuan mereka masuk ke dunia home schooling dikarenakan keterbatasan dalam hal waktu, tenaga, dan finansial. Mereka sangat menginginkan fleksibilitas daripada pressure. Pressure atau tekanan yang biasa mereka temukan di sekolah formal menjadi pemicu utama mengapa mereka memilih home schooling. Home schooling menurut mereka menjadi sebuah tempat belajar sekaligus beristirahat, sehingga pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru hendaknya GATIF ( gampang, asyik, kreatif). Sebagai contoh dalam praktiknya, dalam mengembangkan pembelajaran geografi. GATIF dalam mata pelajaran ini akan sangat baik mengambil lokasi outdoor, sambil melihat objek yang cocok dengan materi pelajaran. Berdasarkan pengalaman pendidikan homeschooling binaan Ibu Rita (istri wakil walikota Balikpapan), dalam pembelajarannya, sedapat mungkin anak-anak diberikan materi yang praktis, disamping teoritis. Sebagai contoh, materi laut (oceanografi). Bersyukur Balikpapan dekat dengan laut. Maka pembelajaran dapat diadakan di lokasi pantai, apalagi anak-anak yang tergabung dalam homeschooling binaan Ibu Rita adalah anak-anak yang tergolong kurang mampu yang kebanyakan anak-anak jalanan. Sedapat mungkin mereka belajar tanpa beban. Materi yang membahas tentang laut yang memang sehari-hari mereka kenal, karena sepanjang bagian timur Balikpapan adalah laut, akan sangat mengasyikkan, bila metode pembelajarannya juga cocok. Secara tidak langsung, bila mereka belajar dalam keadaan senang dan mengasyikkan, akan menumbuhkan semangat untuk berkreativitas lebih tinggi.
Contoh lain penerapan GATIF dalam pendidikan homeschooling untuk pelajaran ekonomi, anak yang memang berlatar belakang kurang mampu, memiliki pengalaman membantu orangtua mencari nafkah, misalnya sebagai penjual koran. Maka secara tidak langsung mereka sdh mengenal bagaimana proses pemasaran yang telah dicontohkan dalam pekerjaannya sehari-hari. Di samping itu, anak-anak yang cenderung membantu para orang tua mencari nafkah keluarga, empatinya sangat tinggi untuk berbagi dan bertoleransi bersama keluarga. Ibu Rita menceritakan pengalamannya, ketika para peserta didik homeschooling mendapat pembagian kue, kebanyakan anak tidak memakan kuenya. Setelah ditanya apa sebabnya mereka tidak memakan kue mereka, salah seorang menjawab bahwa kue itu akan diberikan kepada ibunya di rumah. Yang lain menjawab untuk diberikan kepada adiknya. Empati inilah yang kadangkala tidak dimiliki oleh siswa yang tergolong dari kalangan mampu.
Akan tetapi disisi lain, latar belakang anak-anak dari keluarga kurang mampu ini menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam segala hal. Kadang kala untuk menyerap pelajaran yang jauh lebih sulit agak sedikit sulit (berdasarkan pengalaman seorang guru yang bernama Dayang, yang terlibat dalam homeschooling yang dipimpin oleh Ibu Rita). Barangkali kekurangan mereka dalam menyerap ilmu dikarenakan lingkungan keluarga yang minim penghasilan sehingga menghasilkan anak-anak yang kekurangan protein/kurang gizi (karena harus dibeli dengan harga yang tidak murah), bisa jadi juga karena anak-anak kekurangan waktu untuk belajar atau mengulang pelajaran, sehingga pelajaran banyak yang tidak bisa diingat secara baik. Kekurangan waktu mereka karena beban pekerjaan yang semestinya belum layak mereka emban untuk membantu membiayai keluarga. Inilah keistimewaan homeschooling. Mereka tidak dibebankan oleh pelajaran yang ruwet, akan tetapi pendidikan yang diberikan sangat praktik. Oleh sebab itu penerapan pembelajaran secara GATIF sangatlah diperlukan. Mereka tidak harus menerima pelajaran dalam suasana formal seperti pada umumnya, karena tempat mereka belajar kadangkala juga terbatas. Pernah salah satu televisi menayangkan program homeschooling yang dilakukan di bawah jembatan layang mengingat anak-anak jalanan sering berkumpul di persimpangan jalan, perempatan lampu merah di kota besar Jakarta. Tempat strategis mereka justru pada tempat-tempat yang sebenarnya tidak diperkenankan atau tidak menunjang untuk melakukan kegiatan belajar. Keadaan yang sangat riuh rendah, polusi yang tinggi, pastilah akan mengganggu proses pembelajaran. Untuk itulah, pendidikan informal ini dilakukan secara GATIF, yang penting, minimal mereka bisa membaca, menulis dan berhitung pada awalnya. Sementara pelajaran lain akan menyusul bila mereka lebih siap lagi dalam menerima pelajaran.
Suasana belajar indoor seperti yang disuguhkan di sekolah-sekolah formal kadang menjenuhkan, apalagi dengan siswa yang berjumlah banyak. Kurang efisiennya pembelajaran di sekolah formal, kadangkala membuat siswa tidak kreatif. Guru yang berhadapan dengan murid di depan kelas, sangat membosankan. Sebuah paradigma lama yang secara tidak disadari membelenggu para guru. Bahkan pembelajaran lebih bersifat klasikal, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan banyak bertanya, bahkan tidak berani untuk bertanya. Home schooling bisa saja merubah paradigma lama, sehingga dapat kita katakan inilah terobosan yang berani dalam membuka wahana pendidikan alternatif.
Satu hal yang patut diperhatikan, pendidikan homeschooling sangat membutuhkan perangkat sarana prasarana yang seharusnya memadai. Fasilitas yang diperlukan antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, dsb), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual). Mengapa sarana/fasilitas ini diperlukan, karena peserta didik homeschooling sering kali harus belajar mandiri.
Realitanya, akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan metodologi pengajaran yang cenderung praktis yang lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik.
Akhir-akhir ini pendidikan homeschooling sudah lebih dikomersilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta, contohnya primagama. Lembaga ini siap melayani kesulitan waktu untuk belajar bagi kalangan remaja yang memang sibuk, seperti artis-artis yang kegiatannya padat. Pasti keduanya sangat diuntungkan. Artinya lembaga tersebut melayani dengan mengirimkan tutor atau guru, tentunya dengan bayaran yang tidak sedikit. Sedangkan peserta didik diuntungkan dari sisi waktu dan tempat, karena pada prinsipnya pendidikan informal ini tidak terikat dengan dimensi ruang dan waktu.

E. Paradigma Alternatif
Untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas, maka mau tidak mau harus merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan legalitas tetap saja menjadi sesuatu yang penting, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan hanya untuk mengejar tataran formal saja. Maka yang perlu dilakukan sekarang bukanlah menghapus formalitas yang telah berjalan melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada dengan paradigma baru yang lebih baik. Selanjutnya, perlu dipikirkan lebih lanjut, bagaimana negara ini menghasilkan bangsa yang cerdas.
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dihasilkan oleh sistem pendidikannya. Oleh sebab itu, meningkatkan peranan pendidikan di dalam mewujudkan suatu masyarakat Indonesia baru merupakan perwujudan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia. (H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, hlm. 27).
Berkaitan dengann pernyataan di atas, maka salah satu perwujudan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa ini, adalah bagaimana mengangkat peranan pendidikan yang tidak hanya formal saja, akan tetapi peluang untuk pendidikan informalpun harus diberikan demi terciptanya bangsa yang cerdas.
Sesuai dengan visi misi pendidikan informal, home schooling hendaknya dilaksanakan sejalan dengan target kurikulum yang ditetapkan oleh dinas pendidikan setempat, walaupun kurikulum itu tidak sepenuhnya diadopsi secara utuh, mengingat para pemelajar berasal dari kondisi keluarga yang memiliki psikis dan mental yang berbeda. Di sinilah tugas seorang guru untuk bisa memahami dan mengerti karakteristik anak untuk kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan harus mewakili diri sang anak, keinginan sang anak, dan kebutuhan secara logis. Memang, terkesan manja, tapi itulah bentuk konsekuensi orang-orang yang ingin berkecimpung dalam dunia home schooling. Guru seyogyanya bertindak sebagai orang yang lebih banyak mendengar daripada memerintah, lebih banyak mengerti daripada dimengerti dan menyayangi daripada disayangi. Atas dasar itulah homeschooling berdiri. Berdiri atas pemahaman, pengertian, berlandaskan kasih sayang. Jadi jelas, bahwa paradigma pendidikan menjadikan homeschooling sebagai alternatif pembelajaran yang dapat merubah paradigma bahwa bersekolah hanyalah pada lembaga/institusi formal saja.
Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis (saya) yang memiliki putra yang menyandang autisme, sungguh sangat membutuhkan pendidikan informal manakala sekolah formal tidak welcome terhadap anak yang berkebutuhan lain. Pendidikan informal homeschoolinglah yang paling cocok untuk mengatasi kesulitan belajar yang pastinya tidak akan bisa terpenuhi bila si anak disekolahkan pada sekolah formal yang siswanya seluruhnya terkategori anak yang normal. Ketika si anak sudah mulai besar dan sudah mampu untuk beradaptasi, dan harus diperkenalkan pada kehidupan sosial, maka memang diperlukan sekolah formal untuk tempat bersosialisasi, karena homeschooling yang dilaksanakan adalah kategori tunggal, sehingga si anak hanya sendirian dalam menerima pelajaran. Beryukur ada sekolah formal yang menerima si anak untuk bersekolah. Akan tetapi kolaborasi kedua jenis pendidikan ini sangatlah diperlukan, karena saling mengisi kekurangan. Alhasil, dengan kolaborasi ini, si anak dapat menjadi anak yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada orang tua dalam mengurus diri sendiri sehari-hari. Bahkan karena sisi positifnya (kemampuan dirinya) tergali, maka si anak cenderung terkategori anak yang pandai. Subhanallah, kekuasaan Allah semata, yang dapat menjadikan menjadikan hitam atau putihnya seseorang. Walaupun semuanya ini pastilah tidak lepas dari usaha dari diri manusia itu sendiri terutama peranan orang tua.

Daftar Pustaka :
1. Kembara M, 2007. Home Schooling sebagai sekolah alternatif. Sinar Baru,Algesindo Bdg
2. Rivai Ahmad, 2001, Teknologi Pengajaran, Bumi Aksara Bandung
3. Aurakhmad Winarno, 1982, pengantar interaksi belajar mengajar, Tarsito Bandung
4. Website : http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.
5. Website : http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan formal.
6. Website: http:/www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=310&
Itemid=80