Jumat, 06 Agustus 2010

Skenario masa depan : Mencari paradigma alternatif, melalui pendidikan homeschooling (Yayuk Hapsari)

A. Pengertian.

a) Skenario Masa Depan dapat diartikan sebagai rancangan yang kita buat untuk waktu yang akan datang, jauh ke depan, yang biasa kita sering dengar dengan jangka panjang. Rancangan ini dibuat untuk mengantisipasi terjadinya pola pikir lama, yang membelenggu pendidikan serta untuk meningkatkan daya saing dengan maraknya bisnis pendidikan saat ini. Bersaing tidak hanya di dalam negeri saja, tapi juga dengan negara tetangga khususnya.

b). Paradigma dalam arti Weltanschauung (Jerman) adalah untuk pandangan dunia). Misalnya, dalam ilmu sosial, istilah ini digunakan untuk menggambarkan serangkaian pengalaman, keyakinan dan nilai-nilai yang mempengaruhi cara individu memandang realitas dan menanggapi persepsi itu. Para ilmuwan sosial telah mengadopsi ungkapan Kuhnian "pergeseran paradigma" untuk menunjukkan perubahan dalam cara suatu masyarakat tertentu pergi tentang pengorganisasian dan pemahaman realitas. Sebuah paradigma "dominan" mengacu pada nilai-nilai, atau sistem pemikiran, dalam masyarakat yang paling standar dan banyak diadakan pada waktu tertentu. Paradigma dominan dibentuk baik oleh latar belakang budaya masyarakat dan konteks historis saat. Berikut ini adalah kondisi yang memfasilitasi suatu sistem berpikir untuk menjadi paradigma dominan diterima.
Friedrichs (dalam Ritzer, 2003:6) mengungkapkan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Lebih lanjut Ritzer (2003:7) mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.

c) Paradigma alternatif adalah paradigma konstruktivis, sebagai sistem pendidikan dan khususnya sistem mendidik sedemikian rupa, sehingga orang: mau dan mampu belajar tentang diri dan lingkungannya, tentang lingkungan alam, dan sosialnya, tentang kebutuhan dan potensinya, tentang ancaman dan peluangnya, tentang kewajiban dan haknya, menurut hukum masyarakat dan negaranya, lust but not least, menurut hukum Allah dan RosulNYA.

Skenario masa depan dengan mencari paradigma alternatif yang penulis kemukakan adalah Pendidikan homeschooling yang pada akhir-akhir ini banyak diminati para orang tua yang sangat percaya diri untuk tidak menyekolahkan putra putrinya ke sekolah umum dalam mengantarkan putra-putrinya menjadi manusia yang memiliki karakter kuat.
Pendidikan homeschooling ini juga sebagai jawban untuk mengatasi semakin meningginya jumlah anak yang putus sekolah akibat mahalnya biaya sekolah saat ini di Indonesia. Paling tidak, anak-anak putus sekolah dari golongan bawah, juga dapat menikmati sekolah. Sayangnya, yang mengadakan homeschooling masih terbatas pada orang-orang yang berjiwa sosial yang disebut volentir. Pendidikan informal yang satu ini masih membutuhkan orang-orang yang berjiwa sosial agar bisa berkembang dengan baik. Sementara lembaga swasta dapat berkiprah dengan mengeruk uang, karena sasaran dari peserta didiknya dari golongan ekonomi kuat.

Apa sebenarnya Pendidikan homeschooling itu ?
Pendidikan Home schooling adalah sekolah rumah yang kini mulai muncul menjadi pendidikan alternatif. Departemen Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No. 20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).
Home schooling dapat juga diartikan model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Memilih untuk bertanggung jawab berarti orangtua terlibat langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar ( Sumardiono dalam Simbolon : 2008).
Klasifikasi pendidikan homeschooling ini ada 3 macam, yaitu tunggal, majemuk, dan komunitas. Dalam bentuk tunggal apabila diselenggarakan sebuah keluarga tanpa bergabung dengan keluarga lain. Kategori majemuk apabila dilaksanakan berkelompok oleh beberapa keluarga. Selanjutnya, dikatakan komunitas bila persekolahan di rumah itu merupakan gabungan beberapa model majemuk dengan kurikulum yang lebih terstruktur, seperti pendidikan nonformal. Kurikulum pembelajaran homeschooling adalah kurikulum yang didesain sendiri namun tetap mengacu kepad akurikulum nasional. Model pendidikan homeschooling ini diharapkan dapat menjadi alternatif di masa depan.

B. Konsep Home schooling
Sebetulnya sudah lama bangsa kita mengenal konsep homeschooling ini, bahkan jauh sistim barat datang. Para orang tua zaman dulu lebih sering mendidik putra-putrinya sendiri, terlebih lagi kaum kiyai, bangsawan, seniman tempo dulu. “Manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar, tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How children Fail, 1964). Inilah yang menjadi filosofi berdirinya home schooling. Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Istilah home schooling merupakan hal baru. Di Indonesia, home schooling belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Akan tetapi, jika dilihat konsepnya, home schooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal, sehingga sekolah rumah ini bukanlah hal baru. Fleksibilitas dan metodologi pembelajarannya cenderung berbeda dibandingkan dengan sekolah formal. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari metode pembelajaran yang tidak terbelenggu oleh dimensi ruang dan waktu secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik. Dengan kata lain konsep homeschooling memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerjasama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standar alternatif bagi kompetensi lulusan (ijazah dan nilai) yang selama ini menjadi domainnya pemerintah.
Saya teringat ketika kecil (sekitar tahun 1970), salah satu keluarga musisi yang bernama Said Kelana, mendidik anak-anaknya yang ada 4 orang secara informal, dengan mendatangkan guru-guru privat dengan alasan bila menyekolahkan di sekolah umum, banyak waktu yang tidak efektif, sedangkan anak-anaknya memerlukan latihan musik setiap hari. Jadi, Said Kelana pada saat itu telah menerapkan konsep homeschooling untuk anak-anaknya. Ketika itu perlakuan Said Kelana pada anak-anaknya agak sedikit langka, sehingga banyak yang berpendapat Said Kelana sebagai orangtua yang tidak memikirkan bagaimana sosialisasi anak-anaknya, karena ruang lingkupnya hanya di sekitar rumah. Akan tetapi, hasilnya luar biasa. Putra-putri Said Kelana menjadi musisi terkenal dengan ciri khas disamping bersuara merdu, juga permainan Saxophone dan terompet sejak usia anak-anak. Salah satu putrinya yang masih exist saat ini adalah Imaniar yang multitalenta.
Saat ini juga, artis Nenok Warisman mendidik putra-putrinya melalui pendidikan home schooling. Terlebih lagi Nenok menginginkan putra-putrinya memiliki vi misi Islami yang kental. Menurut pengalamannya, mendidik sendiri jauh lebih baik, karena pendidikan anaknya dapat dibentuk sesuai dengan keinginan orangtua. Nenok Warisman mengemukakan ini dalam sebuah seminar beberapa tahun yang lalu, di Balikpapan. Menurut pengalamannya, anak sangat terkontrol dalam mendapatkan ilmu. Tidak saja kognitif yang didapat, akan tetapi afektif dan psikomotor dapat terasah dengan sangat baik, jauh melebihi output sekolah-sekolah formal. Nenok menceritakan pengalamannya ketika anaknya sangat berempati dengan nasib anak-anak sebayanya yang menjadi pemulung, maka dengan tidak segan-segan anaknya pun sering bergaul dengan pemulung dan ikut merasakan bagaimana menjadi pemulung.
Dengan demikian, sebenarnya dalam pendidikan ini diperlukan peran dan komitmen total orang tua. Selain pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.

C. Tujuan Pendidikan Home schooling
Saat ini masyarakat mulai banyak meminati pendidikan homeschooling sebagai sarana pengembangan pendidikan bagi anak-anaknya. Dalam sistem pendidikan nasional, home schooling adalah perwujudan dari pendidikan informal yang diakui eksistensinya di dalam UU no. 20 tahun 2003. Jalur pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (pasal 1).
Mauliya D. Kembara (2007) menyatakan bahwa secara yuridis home schooling basis legal yang kuat dan merupakan salah satu kekayaan keragaman model pendidikan yang berjalan di tengah masyarakat. Dengan pendekatan at home anak-anak merasa nyaman belajar karena mereka bisa belajar sesuai dengan keinginannya kapan saja dan dimana saja seperti ia berada di rumah.
Salah satu filosofi mendasar dari homeschooling yang membedakannya dengan sekolah formal adalah peluang untuk melakukan kustomisasi materi dan model pembelajaran bagi anak-anak. Homeschooling mendorong interaksi antara orangtua dan anak lebih intensif. Pengawasan orang tua secara intensif akan memonitor perkembangan anak secara mental, pembelajaran dan kontak social serta penguasaan intelektual mereka. Selayaknya sebagai seorang pendidik kita harus berfungsi ganda untuk menanamkan sikap mental belajar mandiri kepada anak sehingga sekaligus membantu mereka lebih cepat memahami perbedaan. Sentuhan lembut tangan sang pendidik akan mampu membuka “cakrawala gelap’ home schooling selama ini. Hal inilah yang membedakan homeschooling dengan pendidikan formal.
Bila pendidikan informal seperti ini bisa mendampingi pendidikan formal, maka tidak akan ada anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan. Maka tujuan lain dari pendidikan nasional tidak saja untuk mencerdaskan bangsa, akan tetapi bisa juga untuk meningkatkatkan daya saing antar bangsa.

D. Skenario seperti apa ?
Menurut hemat penulis, home schooling yang berhasil harus mempunyai visi dan misi ke depan sesuai dengan managemen pendidikan yang dikelola oleh institusi tersebut.
Visi dan misi harus dirancang sedemikian rupa sesuai dengan kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan ditandai dengan banyaknya permintaan dan tuntutan yang harus dilaksanakan sehubungan dengan proses pembelajaran. Kita selaku pendidik tidak mungkin memaksakan siswa untuk belajar layaknya siswa di sekolah formal, karena tujuan mereka masuk ke dunia home schooling dikarenakan keterbatasan dalam hal waktu, tenaga, dan finansial. Mereka sangat menginginkan fleksibilitas daripada pressure. Pressure atau tekanan yang biasa mereka temukan di sekolah formal menjadi pemicu utama mengapa mereka memilih home schooling. Home schooling menurut mereka menjadi sebuah tempat belajar sekaligus beristirahat, sehingga pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh guru hendaknya GATIF ( gampang, asyik, kreatif). Sebagai contoh dalam praktiknya, dalam mengembangkan pembelajaran geografi. GATIF dalam mata pelajaran ini akan sangat baik mengambil lokasi outdoor, sambil melihat objek yang cocok dengan materi pelajaran. Berdasarkan pengalaman pendidikan homeschooling binaan Ibu Rita (istri wakil walikota Balikpapan), dalam pembelajarannya, sedapat mungkin anak-anak diberikan materi yang praktis, disamping teoritis. Sebagai contoh, materi laut (oceanografi). Bersyukur Balikpapan dekat dengan laut. Maka pembelajaran dapat diadakan di lokasi pantai, apalagi anak-anak yang tergabung dalam homeschooling binaan Ibu Rita adalah anak-anak yang tergolong kurang mampu yang kebanyakan anak-anak jalanan. Sedapat mungkin mereka belajar tanpa beban. Materi yang membahas tentang laut yang memang sehari-hari mereka kenal, karena sepanjang bagian timur Balikpapan adalah laut, akan sangat mengasyikkan, bila metode pembelajarannya juga cocok. Secara tidak langsung, bila mereka belajar dalam keadaan senang dan mengasyikkan, akan menumbuhkan semangat untuk berkreativitas lebih tinggi.
Contoh lain penerapan GATIF dalam pendidikan homeschooling untuk pelajaran ekonomi, anak yang memang berlatar belakang kurang mampu, memiliki pengalaman membantu orangtua mencari nafkah, misalnya sebagai penjual koran. Maka secara tidak langsung mereka sdh mengenal bagaimana proses pemasaran yang telah dicontohkan dalam pekerjaannya sehari-hari. Di samping itu, anak-anak yang cenderung membantu para orang tua mencari nafkah keluarga, empatinya sangat tinggi untuk berbagi dan bertoleransi bersama keluarga. Ibu Rita menceritakan pengalamannya, ketika para peserta didik homeschooling mendapat pembagian kue, kebanyakan anak tidak memakan kuenya. Setelah ditanya apa sebabnya mereka tidak memakan kue mereka, salah seorang menjawab bahwa kue itu akan diberikan kepada ibunya di rumah. Yang lain menjawab untuk diberikan kepada adiknya. Empati inilah yang kadangkala tidak dimiliki oleh siswa yang tergolong dari kalangan mampu.
Akan tetapi disisi lain, latar belakang anak-anak dari keluarga kurang mampu ini menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam segala hal. Kadang kala untuk menyerap pelajaran yang jauh lebih sulit agak sedikit sulit (berdasarkan pengalaman seorang guru yang bernama Dayang, yang terlibat dalam homeschooling yang dipimpin oleh Ibu Rita). Barangkali kekurangan mereka dalam menyerap ilmu dikarenakan lingkungan keluarga yang minim penghasilan sehingga menghasilkan anak-anak yang kekurangan protein/kurang gizi (karena harus dibeli dengan harga yang tidak murah), bisa jadi juga karena anak-anak kekurangan waktu untuk belajar atau mengulang pelajaran, sehingga pelajaran banyak yang tidak bisa diingat secara baik. Kekurangan waktu mereka karena beban pekerjaan yang semestinya belum layak mereka emban untuk membantu membiayai keluarga. Inilah keistimewaan homeschooling. Mereka tidak dibebankan oleh pelajaran yang ruwet, akan tetapi pendidikan yang diberikan sangat praktik. Oleh sebab itu penerapan pembelajaran secara GATIF sangatlah diperlukan. Mereka tidak harus menerima pelajaran dalam suasana formal seperti pada umumnya, karena tempat mereka belajar kadangkala juga terbatas. Pernah salah satu televisi menayangkan program homeschooling yang dilakukan di bawah jembatan layang mengingat anak-anak jalanan sering berkumpul di persimpangan jalan, perempatan lampu merah di kota besar Jakarta. Tempat strategis mereka justru pada tempat-tempat yang sebenarnya tidak diperkenankan atau tidak menunjang untuk melakukan kegiatan belajar. Keadaan yang sangat riuh rendah, polusi yang tinggi, pastilah akan mengganggu proses pembelajaran. Untuk itulah, pendidikan informal ini dilakukan secara GATIF, yang penting, minimal mereka bisa membaca, menulis dan berhitung pada awalnya. Sementara pelajaran lain akan menyusul bila mereka lebih siap lagi dalam menerima pelajaran.
Suasana belajar indoor seperti yang disuguhkan di sekolah-sekolah formal kadang menjenuhkan, apalagi dengan siswa yang berjumlah banyak. Kurang efisiennya pembelajaran di sekolah formal, kadangkala membuat siswa tidak kreatif. Guru yang berhadapan dengan murid di depan kelas, sangat membosankan. Sebuah paradigma lama yang secara tidak disadari membelenggu para guru. Bahkan pembelajaran lebih bersifat klasikal, sehingga siswa tidak memiliki kesempatan banyak bertanya, bahkan tidak berani untuk bertanya. Home schooling bisa saja merubah paradigma lama, sehingga dapat kita katakan inilah terobosan yang berani dalam membuka wahana pendidikan alternatif.
Satu hal yang patut diperhatikan, pendidikan homeschooling sangat membutuhkan perangkat sarana prasarana yang seharusnya memadai. Fasilitas yang diperlukan antara lain fasilitas pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum (taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan, rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, dsb), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan audiovisual). Mengapa sarana/fasilitas ini diperlukan, karena peserta didik homeschooling sering kali harus belajar mandiri.
Realitanya, akhir-akhir ini mulai banyak bermunculan sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan metodologi pengajaran yang cenderung praktis yang lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik.
Akhir-akhir ini pendidikan homeschooling sudah lebih dikomersilkan oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta, contohnya primagama. Lembaga ini siap melayani kesulitan waktu untuk belajar bagi kalangan remaja yang memang sibuk, seperti artis-artis yang kegiatannya padat. Pasti keduanya sangat diuntungkan. Artinya lembaga tersebut melayani dengan mengirimkan tutor atau guru, tentunya dengan bayaran yang tidak sedikit. Sedangkan peserta didik diuntungkan dari sisi waktu dan tempat, karena pada prinsipnya pendidikan informal ini tidak terikat dengan dimensi ruang dan waktu.

E. Paradigma Alternatif
Untuk membangun masyarakat terdidik, masyarakat yang cerdas, maka mau tidak mau harus merubah paradigma dan sistem pendidikan. Formalitas dan legalitas tetap saja menjadi sesuatu yang penting, akan tetapi perlu diingat bahwa substansi juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan hanya untuk mengejar tataran formal saja. Maka yang perlu dilakukan sekarang bukanlah menghapus formalitas yang telah berjalan melainkan menata kembali sistem pendidikan yang ada dengan paradigma baru yang lebih baik. Selanjutnya, perlu dipikirkan lebih lanjut, bagaimana negara ini menghasilkan bangsa yang cerdas.
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dihasilkan oleh sistem pendidikannya. Oleh sebab itu, meningkatkan peranan pendidikan di dalam mewujudkan suatu masyarakat Indonesia baru merupakan perwujudan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia. (H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, hlm. 27).
Berkaitan dengann pernyataan di atas, maka salah satu perwujudan gerakan reformasi masyarakat dan bangsa ini, adalah bagaimana mengangkat peranan pendidikan yang tidak hanya formal saja, akan tetapi peluang untuk pendidikan informalpun harus diberikan demi terciptanya bangsa yang cerdas.
Sesuai dengan visi misi pendidikan informal, home schooling hendaknya dilaksanakan sejalan dengan target kurikulum yang ditetapkan oleh dinas pendidikan setempat, walaupun kurikulum itu tidak sepenuhnya diadopsi secara utuh, mengingat para pemelajar berasal dari kondisi keluarga yang memiliki psikis dan mental yang berbeda. Di sinilah tugas seorang guru untuk bisa memahami dan mengerti karakteristik anak untuk kemudian diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran yang dilakukan harus mewakili diri sang anak, keinginan sang anak, dan kebutuhan secara logis. Memang, terkesan manja, tapi itulah bentuk konsekuensi orang-orang yang ingin berkecimpung dalam dunia home schooling. Guru seyogyanya bertindak sebagai orang yang lebih banyak mendengar daripada memerintah, lebih banyak mengerti daripada dimengerti dan menyayangi daripada disayangi. Atas dasar itulah homeschooling berdiri. Berdiri atas pemahaman, pengertian, berlandaskan kasih sayang. Jadi jelas, bahwa paradigma pendidikan menjadikan homeschooling sebagai alternatif pembelajaran yang dapat merubah paradigma bahwa bersekolah hanyalah pada lembaga/institusi formal saja.
Berdasarkan pengalaman pribadi, penulis (saya) yang memiliki putra yang menyandang autisme, sungguh sangat membutuhkan pendidikan informal manakala sekolah formal tidak welcome terhadap anak yang berkebutuhan lain. Pendidikan informal homeschoolinglah yang paling cocok untuk mengatasi kesulitan belajar yang pastinya tidak akan bisa terpenuhi bila si anak disekolahkan pada sekolah formal yang siswanya seluruhnya terkategori anak yang normal. Ketika si anak sudah mulai besar dan sudah mampu untuk beradaptasi, dan harus diperkenalkan pada kehidupan sosial, maka memang diperlukan sekolah formal untuk tempat bersosialisasi, karena homeschooling yang dilaksanakan adalah kategori tunggal, sehingga si anak hanya sendirian dalam menerima pelajaran. Beryukur ada sekolah formal yang menerima si anak untuk bersekolah. Akan tetapi kolaborasi kedua jenis pendidikan ini sangatlah diperlukan, karena saling mengisi kekurangan. Alhasil, dengan kolaborasi ini, si anak dapat menjadi anak yang mandiri dan tidak lagi tergantung pada orang tua dalam mengurus diri sendiri sehari-hari. Bahkan karena sisi positifnya (kemampuan dirinya) tergali, maka si anak cenderung terkategori anak yang pandai. Subhanallah, kekuasaan Allah semata, yang dapat menjadikan menjadikan hitam atau putihnya seseorang. Walaupun semuanya ini pastilah tidak lepas dari usaha dari diri manusia itu sendiri terutama peranan orang tua.

Daftar Pustaka :
1. Kembara M, 2007. Home Schooling sebagai sekolah alternatif. Sinar Baru,Algesindo Bdg
2. Rivai Ahmad, 2001, Teknologi Pengajaran, Bumi Aksara Bandung
3. Aurakhmad Winarno, 1982, pengantar interaksi belajar mengajar, Tarsito Bandung
4. Website : http://pormadi.wordpress.com/2007/11/12/homeschooling/.
5. Website : http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan formal.
6. Website: http:/www.sumardiono.com/index.php?option=com_content&task=view&id=310&
Itemid=80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar